• AYAH, CINTAMU TAK BERUJUNG SEPERTI KOIN IPB

    AYAH, CINTAMU TAK BERUJUNG SEPERTI KOIN IPB

    Kala itu merupakan tahun kedua aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Semangatku sedang sangat membara untuk melanjutkan studi di kampus pertanian terbaik di negeri ini, Institut Pertanian Bogor. Namun, ayahku lebih menginginkan anaknya untuk menjalani ikatan dinas di sebuah sekolah tinggi milik kementerian keuangan. Jujur, aku tak habis pikir kenapa ayahku sangat bertentangan dengan kemauanku. Siapa yang tak suka jaminan ketika lulus kuliah langsung mendapatkan kerja dan gaji yang besar. Aku juga ingin itu, tapi hatiku berkata bahwa aku harus mengubah citra pertanian negeri ini. Diskusi terus coba kulakukan untuk menyakinkan ayahku hingga dipenghujung tahun ketiga di SMA.
    Suatu hari, ayah divonis mengidap gagal ginjal akibat komplikasi penyakit diabetes yang telah lama ia derita. Semuanya menjadi berubah drastis. Ayah cuti bekerja untuk menjalankan pengobatan. Tak banyak aktivitas fisik yang bisa ia lakukan dalam kondisi seperti itu. Setiap harinya ia hanya duduk beristirahat sambil sesekali melihat perkembangan nilai raportku. Ia bahkan akhirnya mengizinkanku untuk kuliah di IPB. Sebenernya aku bimbang karena kondisi ekonomi keluargaku saat itu sangat buruk.
    Tahun-tahun tersebut meruapakan waktu yang sulit untuk aku dan keluargaku. Kami terlilit hutang untuk biaya pengobatan ayah. Setiap dua kali seminggu, ayah harus melakukan cuci darah ke kota sebelah karena di kota kami belum tersedia alatnya. Hal tersebut memakan waktu dan ongkos yang besar. Ketika libur sekolah biasanya aku menemani ayah untuk cuci darah. Lelah? Iya lelah tapi aku tau ayahku pasti jauh lebih lelah. Namun, ia terus menyemangatiku dengan kalimat yang sangat membekas dihatiku,
    “Mar’ie, nanti kalau kamu lolos IPB, kita akan naik pesawat bareng kesana. Nanti kita cari hari saat ayah tidak cuci darah”
    Kata –kata itu terus memacuku untuk bersemangat dan terus belajar agar dapat sampai ke kampus yang aku dambakan. Setelah satu tahun, akhirnya rumah sakit dikotaku membuka tempat cuci darah sehingga keluarga kami lebih bisa berhemat. Namun, Allah Swt. berkehendak lain, ayahku wafat setelah hampir setengah tahun cuci darah disana.
                Maafkan aku ayah, tak sempat membahagiakanmu. Maafkan aku ayahku karena kala itu aku tak mengerti bahwa kau ingin aku memiliki kehidupan baik. Maafkan aku ayahku tak sempat memberitahumu bahwa anakmu lolos kekampus impiannya. Aku akan selalu mengenang cintamu yang tiada terputus bak koin IPB yang menjadi saksi bisu berpijaknya anakmu di kampus pertanian terbaik di negeri ini


    Mar’ie Muhammad
    A34160025   .
  • 0 komentar:

    Posting Komentar

    Diberdayakan oleh Blogger.

    About

    About me

    Featured Posts

    Featured Posts

    Featured Posts

    Pages

    Site Links

    Pinterest

    Flickr Images

    Like us on Facebook

    Popular Posts